Rabu, 04 Desember 2019

Enam Tenaga Kependidikan Baru Memeriahkan HUT PGRI KE 74 dan Hari Guru Nasional 2019 di SMP Negeri 8 Tanjungbalai

Peringatan HUT PGRI KE 74 dan Hari Guru Nasional 2019 kali ini menjadi momen yang paling meriah bagi keluarga besar SMP Negeri 8 Tanjungbalai sebab ada 6 personil baru yakni guru, staf tata usaha dan kepala sekolah untuk pertama kalinya memperingati hari spesial tersebut di SMP Negeri 8 Tanjungbalai.


Kegiatan peringatan HUT PGRI Ke 74 dan Hari Guru Nasional dimulai dengan upacara bendera yang petugas pelaksananya adalah para guru.





 Yang bertindak sebagai inspektur upacara adalah bapak Muhammad Yusri, pemimpin kelompok paling kanan adalah ibu Maryani, Pembaca teks Undang-undang Dasar adalah ibu Hartaty Hotnidear Purba, Dirigen oleh ibu Evplin Tampubolon, petugas pengibar bendera adalah ibu Rafika Dewi, bapak Hendro Andriyanto dan ibu Rugun Maribeth Ambarita, petugas doa yakni bapak Ahmad Zaki, petugas pembaca tata tertib upacara adalah ibu Jumai Linda dan tentu saja yang bertindak sebagai pembina upacara adalah ibu Firdila Kurnia, SPdI, MPdI selaku kepala SMP Negeri 8 Tanjungbalai dan ajudannya bapak Triatno.


Rangkaian kegiatan acara peringatan HUT PGRI KE 74 dan Hari Guru Nasional 2019 juga diisi dengan acara tukar kado oleh guru-guru dan pemotongan puding agar-agar yang menyerupai tumpeng khas masyarakat Jawa.


Acara yang digelar secara sederhana tersebut dapat dirasakan sangat bermakna dan dipenuhi rasa kekeluargaan. Diharapkan dengan peringatan acara tersebut dapat memotivasi para siswa untuk lebih giat belajar dan mencintai guru-gurunya dan memotivasi para guru untuk memajukan pendidikan di Indonesia sesuai dengan temanya "Guru Penggerak Indonesia Maju".
(Azzamani)

Sabtu, 16 November 2019

Guru-guru SMP Negeri 8 Tanjungbalai Ikuti Simulasi UNBK Guru

Setelah selama dua hari siswa-siswi SMP Negeri 8 Tanjungbalai mengikuti simulasi UNBK gelombang kedua yakni pada tanggal 13-14 Nopember 2019 di laboratorium komputer, di hari ketiga guru-guru pengampu mata pelajaran yang diujikan pada UNBK mengikuti simulasi yang sama. Simulasi UNBK ini  diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 

 Mata pelajaran yang diujikan pada simulasi UNBK untuk peserta didik adalah Bahasa Inggris dan IPA. Sedangkan untuk guru adalah Bahasa Inggris, IPA dan Matematika.
Dengan diawasi langsung oleh kepala SMP Negeri 8 Tanjungbalai Ibu Firdila Kurnia SPdI MPdI, simulasi tersebut berjalan dengan efektif dan tanpa hambatan.


Sebelumnya bapak Muhammad Yusri, SPd selaku Operator SMP Negeri 8 Tanjungbalai juga sudah melakukan pendataan dan pendaftaran peserta secara online pada waktu yang telah ditetapkan.  Perlengkapan simulasi seperti leptop, komputer maupun jaringan internet juga sudah melewati uji kelayakan sehingga ketika ujian online berlangsung peserta tidak mengalami kendala sedikitpun. Dibantu oleh Ibu Sri Ayu Ramadani, SPd mengarahkan peserta simulasi untuk melalui tahapan login data, simulasi UNBK tersebut berjalan dengan lancar. (Azzamani)

Jumat, 15 November 2019

Sosialisasi Festival Literasi Nasional Disambut Antusias Oleh Puluhan Kepala Sekolah Tanjungbalai

 Salah satu prinsip pendidikan adalah
 diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat (Undang-Undang No.  20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). Dengan membaca, menulis dan berhitung maka terwujudlah peradaban bangsa yang humanis dan pola pikir  yang kreatif berdaya guna.

 Usaha untuk membangun peradaban tersebut yaitu dengan menggalakkan kegiatan literasi di  setiap sekolah. Oleh sebab itulah, seorang Sosialisator Gerakan Menulis Buku Indonesia (GMBI) Regional Sumatera yakni bapak Muhammad Fajrin Pane, SHI, M.Hum mengadakan Sosialisasi Festival Literasi Nasional di aula dinas pendidikan kota Tanjungbalai yang dihadiri langsung oleh Ibu Plt Kepala Dinas Pendidikan Tanjungbalai yakni Ibu Hj. Rukiyah. Beliau menyampaikan informasi terkait festival literasi yang diadakan oleh Gerakan Menulis Buku Indonesia.  Pada kesempatan itu beliau juga memberikan motivasi kepada puluhan peserta yakni para kepala sekolah untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah terkait program yang diselenggarakan secara nasional tersebut.

 Bapak Muhammad Fajrin Pane, SHI, MHum yang juga dosen di beberapa perguruan tinggi di Tanjungbalai menyarankan para peserta agar tetap menggiatkan program literasi di sekolah.

 Tentu saja kegiatan ini disambut antusias oleh para peserta khususnya Ibu Firdila Kurnia, SPdI, MPdI selaku kepala SMP Negeri 8 Tanjungbalai yang turut serta dalam kegiatan tersebut. Secara personal kepala SMP Negeri 8 Tanjungbalai menyatakan siap mendukung kegiatan literasi sekolah. Beberapa kegiatan literasi yang rutin  dilaksanakan adalah kegiatan membaca di alam terbuka secara berkala, mengembangkan potensi sastra dan berbahasa para peserta didik, maupun memublikasikan karya tulis siswa ke media sosial secara berkesinambungan.

(Foto: dokumentasi pribadi Muhammad Fajrin Pane)

 Disela-sela diskusi tersebut bapak Muhammad Fajrin Pane SHI M.Hum mengingatkan kembali kepada seluruh peserta tentang batas waktu pendaftaran gelombang terakhir festival literasi nasional untuk disampaikan kepada para peserta didik.


 Dengan  menyemarakkan kegiatan literasi ini diharapkan dapat membangun peradaban bangsa yang semakin cerdas dan berbudaya di masa depan. (Azzamani)

Rabu, 13 November 2019

Berkah Kunjungan Silaturahim Alumni SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI

Hari ini SMP Negeri 8 Tanjungbalai bergembira menyambut kunjungan silaturahim dari alumni SMP Negeri 8 Tanjungbalai angkatan ketiga tahun 1998. Kenangan dan kecintaan mereka pada sekolah tempat mereka menimba ilmu ketika itu akhirnya membawa mereka kembali dan melihat-lihat perkembangan di sekolah ini.

 Seperti ungkapan yang pernah diucapkan oleh Presiden pertama RI yakni bapak Ir. Soekarno; "jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah". Hari ini, Rabu, 13 Nopember 2019 para alumnus yang sekarang sudah berhasil di bidang karir dan kehidupan masing-masing menyempatkan diri bertemu dengan kepala sekolah yakni ibu Firdila Kurnia, SPdI, MPdI dan guru-guru beserta staff pegawai. Pada pertemuan itu mereka sangat bergembira bertemu lagi dengan guru senior  yang  sejak mereka berstatus siswa hingga saat sekarang ini yakni Pak Triyatno, SPd.
  
  Didalam forum silaturahim tersebut mereka mengucapkan terima kasih karena kedatangan mereka disambut dengan baik. Para alumnus tersebut juga mengungkapkan rasa rindu dengan suasana di SMP Negeri 8 Tanjungbalai yang saat ini sudah banyak mengalami kemajuan dalam bidang pembangunan dan peningkatan mutu pendidikan.
Dalam kesempatan itu pula para alumnus memberikan cenderamata sebagai penali kasih karena pernah dididik di sekolah tercinta ini.

Jumat, 08 November 2019

Pramuka Saka Bahari Tanjungbalai Membersamai Kegiatan Persami SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI


Pramuka adalah sebuah organisasi kepanduan yang bersifat non formal di Indonesia. Sejak kementrian pendidikan menetapkan ekskul Pramuka menjadi ekskul wajib di setiap sekolah, kegiatan kepanduan ini menjadi semakin semarak dan semakin diminati oleh para peserta didik khususnya di SMP Negeri 8 Tanjungbalai.

Kegiatan kepramukaan yang diadakan pada kesempatan ini adalah Persami atau Perkemahan Sabtu Minggu di Bumper SMP Negeri 8 Tanjungbalai  pada hari Sabtu dan Minggu, 2-3 Nopember 2019. Kegiatan ini diikuti oleh puluhan peserta didik SMP Negeri 8 Tanjungbalai dan berlangsung dengan sangat meriah.

Kegiatan ini juga disertai oleh kakak-kakak Pramuka dari Saka Bahari Kota Tanjungbalai. Selain berbagi ilmu dan pengalaman, peserta dari Saka Bahari juga menjadi motivator dan tauladan bagi peserta didik SMP Negeri 8 Tanjungbalai.


Beberapa program yang dilaksanakan pada persami kali ini diantaranya adalah Pembukaan acara perkemahan yang dipimpin oleh kakak Hartaty Hotnidear Purba selaku Pembina Putri di Gugus depan 04.176, upacara api unggun yang dipimpin oleh kakak Yusri Prakoso selaku Pembina Putra Gugus Depan 04.175 dan kegiatan penutup dipimpin oleh kakak Firdila Kurnia, SPdI, MPdI selaku Kamabigus 04.175 - 04.176 pada saat Upacara Penutupan Perkemahan.



Banyak Pembelajaran yang dapat diambil dari kegiatan kepramukaan kali ini, diantaranya adalah pembinaan mental peserta didik, kedisiplinan, kerjasama, kebersamaan dan kekeluargaan. Diharapkan dengan kegiatan ini, siswa-siswi SMP Negeri 8 Tanjungbalai dapat menjadi peserta didik yang lebih disiplin, kreatif, berwawasan luas, berketuhanan dan cinta kepada alam sekitar. (Azzamani)





Rabu, 06 November 2019

Kumpulan Puisi Remaja SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI bagian 2




Berkawan Dengan Khianat

Oleh Nurhidayah Simangunsong



Lewat ini kututur doa yang mungkin tak sampai ke langit

Mungkin isi doaku terlalu sampah

Atau mungkin terlalu remeh

Tak sebanding dengan kualitas ia

Doa makhluk-makhluk lain


Kemudian aku sadar khianat berkawan denganku

Semenjak doaku tak pernah terkabul


Aku tidak berdoa agar dunia ini lebih baik

Salah?

Dalam hatiku justru berdoa

Agar dunia lebih baik untuk diriku sendiri

Dan orang-orang lain prioritas kesekian

Dan juga manusia sepertiku sering kali tak sadar

Bahwa akulah sang antagonis dalam ceritaku sendiri


Sebab akulah sang pengkhianat itu

----------------------------------------------------------

JATUH
 Oleh Bunga Handayani


Mereka bilang manusia yang berfikir tak akan jatuh ke lobang yang sama

Apalagi cinta

Seharusnya aku!

Tapi aku lupa kamu adalah samudera

Luas, dalam, terkadang indah

Terkadang penuh amuk badai

Bergulung-gulung pesonamu tak henti

Aku bukan karang

 tetapi pesona-pesonamu

 Penuh kekuatan yang menghantam

 Keyakinan dan kekerasan hati

 Tanpa kusadari

 Aku...

 Aku menyerahkan diriku lagi


---------------------------------------------------------


Tak Banyak
Oleh Adela Paramitha




Tak habis umur menelan duka

Menyesali hidup laknat

Begitu ganas meremukkan


Jarum jam berterbangan

Tinggalkan kesan yang melayang

Bagi batin yang belum mati

Begitu banyak yang bisa kuukir

Dalam pelayaran sanksi ini


Segalanya serupa

Bayang penuh tanda

Sebelum nyawa tinggalkan raga

Ia tinggalkan kenangan

Bagi hati yang mencari jawab

----------------------------------------------------------



BENCANA

Oleh Siti Rahmah


Aku berdiri disudut lorong

Penuh sepi tak berdaya

Tangisan dan teriakan itu menakutkan bagiku


Aku takut... Aku takut ya Rabb


Guncangan dahsyat dan gemuruh

Menghancurkan bumi disini

Bumi hancur seketika tanpa kendali

Semua menjadi bencana


Semuanya tertulis dalam Az-zalzalah


---------------------------------------------------------




Minggu, 03 November 2019

Antusias me Pelajar SMP Negeri 8 Tanjungbalai Mengikuti Seminar "Menjadi Pelajar K-E-P-O-I Yang Diadakan Lembaga Dakwah Remaja



Salam literasi. 
Remaja usia sekolah dalam hal ini siswa-siswi jenjang sekolah menengah pertama merupakan individu yang perlu diberikan banyak perhatian dalam pembentukan karakter yang bersifat positif dan mendidik khususnya karakter di bidang keagamaan. Mengingat mereka adalah generasi emas yang akan membangun Indonesia di masa depan.
Itulah sebabnya mengapa kepala sekolah SMP Negeri 8 Tanjungbalai yakni Ibu Firdila Kurnia, SPdI, MPd mengutus sepuluh siswa-siswi terbaik untuk mengikuti Seminar Remaja "Menjadi Pelajar K-E-P-O-I" yang diadakan oleh Lembaga Dakwah Remaja di aula dinas pendidikan kota Tanjungbalai pada Sabtu, 2 November 2019.


Di lokasi workshop siswa-siswi tersebut membaur bersama ratusan pelajar lainnya memperoleh motivasi  menjadi pelajar yang kreatif, energik, produktif, objektif dan islami seperti yang disampaikan oleh salah satu pemateri bapak Fitriandy, S. SAg, MPd :"jadilah pribadi yang   K-E-P-O-I dengan selalu berpegang pada ajaran agama". Pemateri yang juga pernah menjadi tim pengajar di SMP Negeri 8 Tanjungbalai ini juga berpesan pada para peserta agar menjauhkan diri dari narkoba yang bisa menghancurkan masa depan.  Selain diberikan pendalaman materi keagamaan yang sangat bermanfaat, mereka juga ditempa untuk menjadi individu yang sukses di masa depan oleh pemateri kedua yakni saudara M. Harwansyah, P.S, M.Pd. Kons.


Diharapkan dengan mengikuti seminar ini siswa-siswi SMP Negeri 8 Tanjungbalai dapat menjadi pribadi yang religius dan menjadi duta-duta keagamaan di kalangan siswa SMP Negri 8 Tanjungbalai. (Azzamani)

Minggu, 27 Oktober 2019

Cerpen Kue Kecil Titipan Tuhan

Cerita Pendek Karya Siswa
"Kue Kecil Titipan Tuhan"
Oleh Adela Paramitha

Ayam jantan berkokok. Matahari pagi sudah keluar dari peraduannya. Selamat pagi dunia.
Pagi adalah awal setiap manusia beraktifitas. Seperti pagi ini di sekolah, hampir semua temanku sudah tiba disini untuk menuntut ilmu. Salah satunya Bobby. Teman sekelasku itu tinggal berdua dengan adiknya. Lisa namanya.    Karena ayah ibunya telah meninggal setahun yang lalu. Bobby adalah remaja yang tidak kenal putus asa. Semua  ia kerjakan untuk mendapatkan uang untuk menghidupi dirinya dan adiknya.

Hari ini sepulang sekolah aku menemani ibuku untuk menjaga toko kue milik keluarga kami. Dari kejauhan aku melihat Bobby dan adiknya berjalan menuju toko kue ini. Aku berniat  menegur mereka. Tapi belum sempat mereka kutegur, dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup pembicaraan mereka. 
"Kakak, apa aku boleh membeli kue dan es krim di hari ulang tahunku ini?"
"Maaf Lisa, tapi kakak tidak punya cukup uang untuk membelikan mu itu. Lain kali saja ya". 
"Baiklah kalau begitu. Lain kali belikan ya, kak", adiknya memohon dengan penuh kesabaran. Mereka pun berjalan pulang dan tak sempat masuk kedalam toko kue milik keluarga kami.

Setelah mengetahui pembicaraan mereka, aku pun memberitahukan hal itu kepada ibuku. Ibu menyarankan agar aku pergi ke rumah mereka untuk mengantarkan kue pemberian ibuku kepada Bobby untuk diberikan kepada Lisa. 
Sekarang aku sudah berada di luar rumah mereka. Samar-samar kudengar pembicaraan kedua kakak beradik itu. 

Bobby berencana memberikan es potong sebagai ganti kue dan es krim yang diminta adiknya, Lisa. 

Segera kuletakkan kue itu didepan pintu rumah mereka dan pergi beranjak dari sana, bersembunyi dibalik dinding bagian samping rumah mereka untuk mendengarkan percakapan mereka.

"Kakak, ini apa?", tanyanya heran sambil mengambil kue yang terletak didepan pintu rumah mereka itu. 
"Entahlah, kakak juga tidak tau. Coba lihat tulisan itu", kata Bobby.
Lisa kemudian membaca tulisan yang kutulis di bungkusan kue itu.
"Disini tertulis untuk Lisa, kak", katanya sambil tersenyum.
"Mungkin Tuhan sudah mendengarkan doamu dan menitipkan kue ini kepada seseorang untuk diberikan kepadamu. Jadi kau harus berterima kasih kepada Tuhan untuk ini".


Setelah mendengarkan percakapan singkat mereka, aku langsung beranjak pergi sambil tersenyum karena mengingat tindakan kecil dapat membuat mereka bahagia.

Dari kejadian kecil ini aku dapat menyimpulkan bahwa ternyata tindakan kecil dapat membuat orang berbahagia, dan menolong orang dapat menjadi ladang pahala bagi diri kita. Maka dari itu teruslah berbuat baik kepada siapapun.
----------------------------------------------------------
BIODATA PENULIS

Nama    : Adela Paramitha
Kelas     : IX-3 SMP NEGERI 8
TTL        : Kisaran, 6 Juli 2005
Alamat  : Sei Merbau, Tanjungbalai
Usia       : 14 tahun
Cita-cita: Psikolog
Hobi      : Baca wattpad




Rabu, 23 Oktober 2019

CERPEN SEWAKTU HUJAN TURUN

S E W A K T U   H U J A N   T U R U N
Cerpen Oleh Ahmad Zaki Zamani


SATU

Thik thuk... thik thukk...., tangan-tangan jam yang terpajang di dinding berdentang seakan-akan  palu yang menghantam kepala dan menghantam otakku berulang-ulang. Tak ada beban yang kupikul. Hanya saja perasaan ku saat ini sungguh berat. Beratnya melebihi beban sebuah bukit yang bertengger diatas ragaku, menghimpit perasaanku. Mataku kabur, keliru kornea lensa membiaskan cahaya dan merefleksikan objek benda ke retina penglihatanku. Diam di ruang bimbingan konseling ini menjadikan perasaanku seperti mati rasa, seperti sempit dadaku untuk  bernafas. 

Berderap langkah Bu Tian masuk ke ruangan tempatku menunggu. Bisa kuhitung jumlah gerakannya dengan rumus baku penjumlahan bilangan asli. Berdegup. Jantungku berdegup tak beraturan, membayangkan hukuman apa yang akan diberikan Bu Tian guru bimbingan dan konseling di sekolah ini.  Seharusnya aku tak datang hari ini ke sekolah. Aku menghela nafas.
Wajah Bu Tian muncul dari balik pintu.
Aku menyisir  rambut dengan jemariku sekalian mengatur posisiku berdiri.
"Rahadi".
"Ya, bu". Jawabku. Kurapikan suaraku mendehem agak serak.
"Sudah berapa kali kau kesini dalam tujuh hari terakhir?"
"Tiga kali, Bu."
"O.. cukup banyak ya.."
"Ya, Bu. Maaf".
Menunduk. Aku tak berani melihat sorot mata dibalik kaca mata itu.
"Mudah betul kau minta maaf".
"Maaf, Bu, tak minta maaf lagi".
"Membantah!", hardiknya.
"Ya, Bu, maaf Bu, tidak membantah, Bu. Jadi saya harus bilang apa, Bu?"
"Kau menentang saya, Rahadi?"
"Maaf, Bu, tidak, Bu".
"Beratus kali sudah maafmu, Rahadi".
"Iya, Bu, maafkan saya".
"Apa penjelasanmu tentang kesalahanmu pada Bintang? Bukankah kalian selama ini berteman baik? Bahkan sejak hari pertama kalian menimba ilmu di sekolah ini".
Aku diam sejenak, terbayang wajah orang yang disebut Bu Tian itu.
B I N T A N G.

***

DUA

Kala itu bumi mendapat amanat dari Penguasa langit. Sehingga tumpah-ruahlah berjuta liter air menggenangi tanah-tanah datar. Basah. Hujan datang. Debu sirna. Jalanan lengang oleh para pengendara di lintasan depan gerbang sekolahku. Bintang berdiri dalam hujan. Kaku. Matanya nanar. Kulitnya membiru. Bukan karena hujan. Bukan karena Bintang  berdiri didalam hujan, tegak terhimpit oleh suasana kekosongan. Tapi karena aku. Aku baru saja menumpahkan segala amarahku padanya. Sekarang dia bukan lagi temanku. Dia bukan lagi sahabatku. Aku memutuskan untuk diam, aku tak akan berbicara lagi padanya. Dia diam menahan perasaan benciku yang bisa ia baca meski didalam basah hujan. Kuseka air hujan yang mengalir dari pelipis mataku. Aku  pergi, berbalik ke belakang untuk menjauhinya. 
"Kau tak usah lagi jadi temanku. Kalau bisa selamanya!!", jeritku. Amarahku belum kunjung reda.
Tak ada jawaban. Ia senyap. Sudahlah. Sudah habis simpatiku kepadanya. Biar dia remuk direngkuh hujan. Berulangkali pun ia memberi  penjelasan nanti, aku akan tutup telinga.

***

Kubanting pintu kamarku. Kujatuhkan tubuhku keatas tempat tidur beralas biru muda bermotif klub sepakbola liga Eropa.
Bayangan Bintang masih membuatku kesal. Membuatku ingin marah saja.
"Dengarkan penjelasanku dulu, Hadi, barulah kau marah padaku". Kutepis tangannya mencoba menenangkanku.
"Aku tau kau sedang emosi. Makanya kau tenang dulu. Dengar penjelasanku", sambungnya mencoba menenangkanku.
"Kau itu teman jenis apa?! Aku tak mau lagi mendengar apapun dari ucapanmu", aku menyanggah. 
"Kau tau kan, Bintang, aku mencoba mendekatinya". 
"Baik. Aku cuma ingin menjelaskan biar kau tak salah faham. Semua pesanmu sudah kulakukan.  Aku tak menyangka kalau begini jadinya. Jangan kau salahkan aku, Rahadi". Bintang menghiba. Lelaki yang jadi teman sekelasku itu mencoba menenangkanku.
"Sudahlah. Selama ini kau kuanggap kawanku. Sekarang pergilah kau. Aku sudah muak melihat kecurangan mu".
"Surat itu sudah kutaruh diatas meja guru, Hadi. Aku tak tau kalau surat Riana jatuh kemana. Dan dia mendapat hukuman atas kesilapanku. Janganlah kau buat masalah sekecil ini jadi berat bagiku". Ia menjelaskan bahwa surat sakit Riana yang kutitipkan padanya sudah ia letakkan di meja guru untuk dimasukkan ke absensi siswa tapi hilang entah kemana.
Tanganku mencengkram. Darahku naik. Dadaku sesak mendengar penjelasannya. 
"Terlalu mudah bagi kau. Kau mengaku sajalah. Kau tak suka aku dan Riana semakin dekat. Kau marah. Kau suka Riana. Kau mengaku. Itulah sebabnya kau curang. Pengkhianat. Rasanya aku ingin pecahkan kepalamu!" Kukepal tanganku. Kuayunkan ke perut Bintang sehingga kudengar ia tersedak dan jatuh terduduk di saluran air belakang kelas tempat kami bertengkar. Tiga detik, empat detik, nampaknya ia seperti tak sanggup untuk bangun berdiri. Ternyata tinjuku yang ketiga itu yang menumbangkannya. Ia bangkit dengan mencoba meraba dinding batu itu.
"Di, cobalah fahami aku", ssambungnya. Kalimat yang kuanggap terlalu mengada-ada itu membuatku merasa direndahkan. Kuayunkan sekali lagi pukulanku sehingga ia jatuh untuk kesekian kalinya. Hingga kudengar ada suara lain mendekat dari kejauhan memanggil namaku. Mencoba menghentikan perkelahian kami.

***

TIGA

Aku tertegun mengingat kejadian kemarin. Kupukul Bintang hingga ia terjungkal ke tanah. Tak ada sedikit pun rasa  sesal, justru sakit hati yang kurasakan terbalaskan. Bintang itu temanku tapi tidak punya rasa setia kawan. Ia pantas menerimanya. 

Kulihat Bu Tian menghela nafas mendengar rentetan ceritaku yang membuat  Bintang babak belur. Beliau hanya  menggeleng seolah aku yang jadi tersangka dan aku pula yang tidak punya rasa iba. Padahal sudah jelas Bintang yang salah. 
"Coba kau lihat keluar sana".
Seketika aku menoleh keluar ruangan konseling ini. Belum ada seorang siswa pun diluar. Belum jam istirahat. Hanya rintik-rintik kecil yang mulai turun ke tanah-tanah datar kota ini. Dan seketika volume airnya semakin deras. Aku memegangi kedua siku tangan bertautan saat semilir angin menerjang lembut tubuhku.
"Ibu masih ingat ketika itu. Hujan. Kau dan Bintang berlarian didalam hujan dibawah selembar daun keladi lebar, kalian singgah ke rumah ibu meminta perlindungan, berteduh dari hujan. Meskipun kalian takut hujan membuat basah pakaian tapi ibu lihat kalian tertawa-tawa senang waktu itu. Ketika itu ibu salut dengan kalian berdua. Sungguh rapat, akur. Dan kau bilang, persahabatan kalian akan sampai selamanya. Hmmm.... Ternyata hanya slogan". Bu Tian memain-mainkan perasaanku. Rasanya di dadaku seperti diaduk-aduk.
"Aku tak tau si Bintang itu aslinya pengkhianat, Bu", balasku menimpali.
"Lantas, bagaimana dengan pak Juna?"
Aduh, pak Juna. Aku teringat pak Juna. Seharusnya tak perlu diingatkan. Benci. Bosan.
"Aku bukan jagoan, bu. Aku juga bukan pahlawan. Tapi aku akan melawan saat harga diriku direndahkan".
"Perkataanmu itu... Berani sekali".
Bu Tian marah.
"Maaf, buk". Kulihat Bu Tian tersinggung dengan kalimatku barusan. Padahal aku cuma mengikuti apa yang ditulis orang-orang di status mereka di sosial media".
Kulihat Bu Tian geleng kepala.

***
Aku tertegun mengingat kejadian kemarin. Kupukul Bintang hingga ia terjungkal ke tanah. Tak ada sedikit pun rasa  sesal, justru sakit hati yang kurasakan terbalaskan. Bintang itu temanku tapi tidak punya rasa setia kawan. Ia pantas menerimanya. 

Kulihat Bu Tian menghela nafas mendengar rentetan ceritaku yang membuat  Bintang babak belur. Beliau hanya  menggeleng seolah aku yang jadi tersangka dan aku pula yang tidak punya rasa iba. Padahal sudah jelas Bintang yang salah. 
"Coba kau lihat keluar sana".
Seketika aku menoleh keluar ruangan konseling ini. Belum ada seorang siswa pun diluar. Belum jam istirahat. Hanya rintik-rintik kecil yang mulai turun ke tanah-tanah datar kota ini. Dan seketika volume airnya semakin deras. Aku memegangi kedua siku tangan bertautan saat semilir angin menerjang lembut tubuhku.
"Ibu masih ingat ketika itu. Hujan. Kau dan Bintang berlarian didalam hujan dibawah selembar daun keladi lebar, kalian singgah ke rumah ibu meminta perlindungan, berteduh dari hujan. Meskipun kalian takut hujan membuat basah pakaian tapi ibu lihat kalian tertawa-tawa senang waktu itu. Ketika itu ibu salut dengan kalian berdua. Sungguh rapat, akur. Dan kau bilang, persahabatan kalian akan sampai selamanya. Hmmm.... Ternyata hanya slogan". Bu Tian memain-mainkan perasaanku. Rasanya ada sesuatu di dadaku seperti diaduk-aduk.
"Aku tak tau si Bintang itu aslinya pengkhianat, Bu", balasku menimpali.
"Lantas, bagaimana dengan pak Juna?"
Aduh, pak Juna. Aku teringat pak Juna. Seharusnya tak perlu diingatkan. Benci. Bosan.
"Aku bukan jagoan, bu. Aku juga bukan pahlawan. Tapi aku akan melawan saat harga diriku direndahkan".
"Perkataanmu itu... Berani sekali".
Bu Tian marah.
"Maaf, buk". Kulihat Bu Tian tersinggung dengan kalimatku barusan. Padahal aku cuma mengikuti apa yang ditulis orang-orang di status mereka di sosial media".
Kulihat Bu Tian geleng kepala.

***

EMPAT

Aku gusar. Pak Juna bangkit dari tempat duduknya. Kucoba menatap sigap badan Pak Juna yang semakin dekat dari bangku tempat aku duduk. Matanya garang, menahan sabar yang sudah semakin habis. Merah penuh kemarahan. Plakkk...
Pipiku ditampar pak Juna. Aku menahan perih. Kutahan tanganku untuk tidak memegangi pipiku. Kutunjukkan mimik wajah tegar. Aku kuat. Aku tidak lemah. Kutahan mataku agar tidak mengeluarkan. Supaya tak kelihatan sakit. Kukeraskan hatiku. Aku tau aku tidak bersalah. Apalah arti perkataanku tadi padanya, dibandingkan dia menamparku didepan teman-temanku. Semua diam. Kelas hening. 
"Kalau kau tak bisa menunjukkan sikap hormat, keluar saja kau dari kelas saya. Saya sudah habis sabar sama kau. Sudah hampir-hampir benci saya". 
Mendadak kelas senyap karena ledakan emosi pak Juna. Semua siswa terdiam. Egoku bergejolak. Hatiku semakin berkecamuk. Aku tak tau cara menumpahkan emosiku, meledakkan marahku.
"Aku juga sudah lama benci pada bapak!!", belum sempat pak Juna menghabiskan kata-katanya, aku langsung menimpali. 
Aku berlari kecil keluar dari kelas yang membuat dadaku panas itu. Hanya gara-gara mengatakan kurang keren cara bapak menjelaskan sehinggalah aku jadi objek kemarahan pak Juna. Memang betul sebelumnya aku tertawa-tawa, bermain-main ketika pak Juna menjelaskan rumus. Tapi apakah  besar sekali salahku?! Aku heran, mengapa semua orang berubah akhir-akhir ini. Bintang, pak Juna, ........ aahh... sudahlah. Pusing kepalaku. Sebaiknya aku lompat pagar saja. Aku mau pulang. Menenangkan hatiku.

***

LIMA


"Bukan semua orang yang berubah, Rahadi. Tapi kau. Sebelumnya kau siswa yang baik".
Aku menatap Bu Tian yang melekatkan telapak tangannya ke dinding ruangan bimbingan dan konseling ini. 
"Kau ingat ketika ibu bilang, 'buanglah sampah pada...', belum habis ibu berbicara kau malah merampas hak bicara ibu. Kau jawab pada temannya.... Buanglah sampah pada temannya...", sambil kau tertawa-tawa, kalian tertawa-tawa. Untunglah ibu pada saat itu sedang panen sabar. Jika tidak ibu juga akan menamparmu".
Aku tersenyum kecut mendengar kalimat Bu Tian.
"Ibu juga berubah, selalu marah padaku".
"Setiap kesalahanmu harus kau pertanggungjawabkan, Rahadi. Dan mulai besok kau dikenakan skor selama  satu Minggu".
Aku terkejut mendengar keputusan bu Tian. Aku berontak. Ini tak adil bagiku. 

***

ENAM

Alam berselimutkan terang jingga di barat tepat di junjungan menara mesjid. Kunikmati warna ufuk dengan rasa sepiku. Kumandang adzan Maghrib tak dapat membuatku bangkit dari bangku-bangku bambu yang tertancap di lapangan sepak bola kampung tempatku sekarang termenung.  Walaupun tidak selebar lapangan sepak bola yang ditetapkan oleh Federasi sepakbola dunia dalam hukum permainan tapi cukuplah lapangan ini menjadi kebanggaan dan kesenangan warga sini. Rumputnya juga alami dan bukan rumput sintesis. Sesekali aku tengadah ke langit, sebentar-sebentar melihat rumput-rumput basah. 
Aku jadi teringat hujan. Aku teringat rumah. Teringat kamarku. Teringat ayahku.
 Kala itu hujan turun...
Itulah terakhir kalinya ayah memindahkan tubuhku dari karpet biru didepan tv kedalam kamar. Sedikit terengah membopong beban tubuhku yang berusia remaja. Setengah terbangun, kurasakan ia menutupkan selimut ke tubuhku keatas hingga leher. Dibelainya kepalaku. Diciumnya keningku. Kudengar suaranya lirih berdoa.
"Semua ini untuk masa depanmu, Hadi. Maafkan ayah", tutupnya. Semakin saja aku lelap dalam tidurku. Padahal hatiku terjaga, teringin untuk mempertanyakan secara tegas apa maksud kalimatnya. Tapi kurencanakan besok pagi saja aku akan  menanyakan ucapan ayah yang tak kumengerti itu. Suaranya agak bergetar. Lirih. Tak seperti biasanya. Kukira aku sudah lemas karena serangan kantuk. Mungkin saja karena tadi aku  menghabiskan seluruh energiku untuk mengerjakan semua tugas sekolah. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku selalu bersemangat datang ke sekolah, menghayati materi belajar dari guru. Nikmat. Semua guruku adalah kesukaanku. Khususnya pak Juna. Selama ini aku banyak bertanya dan berbagi cerita pada beliau. Bergaul dengan sahabat-sahabatku juga seru, rindang pepohonan sekolah juga indah, kantinnya, semua membuatku bersemangat. Lelap. Hingga pekat malam sempurna menguliti bumi pertiwi.
***

Pagi datang. Tubuhku terasa segar  walaupun sesekali kantuk masih datang menyergap. Setiap pagi seketika bangun selalu yang pertama kali kucari adalah ayah. Satu-satunya orang yang ada di rumah ini bersamaku. Sesudah ibu meninggal, semakin aku bergantung pada ayah. Seharusnya lima langkah aku keluar dari kamar kulihat ayah bersimpuh diatas sajadah hijau bermotif mesjid sebagaimana biasanya. Tapi aku tak menemukannya hari ini. Atau mungkin saja lebih awal ayah pergi ke kandang ayam memberi makan pada ternaknya. Kususul kesana. Tapi tak kudapati. Aku duduk lemas di dipan rumah menunggu ayah yang entah kemana perginya. Kuperhatikan dari kejauhan belum juga pulang. Tubuhku jadi terasa  lemas. Kemana ayah??? Tanda tanya besar di kepalaku.
***
Aku tersadar dari lamunanku ketika rintik jatuh ke kulit tanganku. Semua bayangan ayah sirna. Rintik mulai berpacu dengan warna hitam alam. Dadaku sesak rasanya. Mataku basah. Basah karena air mata dan air hujan yang berhimpitan bersamaan.
"Ayah... Pulanglah...", jeritku dalam hati. 
Sudah tiga minggu berlalu sejak kepergian ayah menjadi TKI ke negeri seberang. Itupun dengan cara diam-diam. Ayah tau aku akan berontak hebat memaksa ayah membatalkan niatnya. Hanya dengan menitipkan pesan pada paman, ayah berangkat pergi layaknya embun yang menguap bersama datangnya pagi di sebelah timur. Tak dapat ku terima semua ini. 
Seminggu sudah aku tak datang ke sekolah kebanggaanku. Sekolah yang selama ini menjadi semangat untukku. Bintang, pelajaran kegemaranku, guru kesayanganku bahkan pojok istimewa dibelakang pohon jambu tempatku sering memakan buku jikalau ada guru yang datang berhalangan. Tapi kini semangatku pupus seiring dengan perginya ayah.
Hujan makin deras saja senja itu. Bajuku semakin basah. Tapi aku masih betah berada disini. Betah menikmati  buncah perih dadaku  yang tak kunjung reda. Aku malu menangis didepan Tuhan. Setidaknya air hujan yang menjejak di wajahku ini menutupi keaibanku atas getirnya hati.
'Ayah... Pulanglah...."

***

TUJUH

Belum usai menjejak renungan, malam pun datang. Bajuku masih basah oleh air hujan. Aku belum berniat untuk kembali ke rumah. Pun tak ada siapapun di rumah. Yang ada hanya bayangan ayah yang semakin membuatku cemburu pada kehidupan anak-anak lain di kampung ini. Pernah kudesak paman untuk melakukan percakapan suara melalui telpon genggam tapi tak berhasil. Apakah jaringan tak ada atau ayah berada di luar jangkauan. Entahlah. Semakin kalut kurasa. Lapangan sepakbola ini semakin sepi saja. Gelap. Lampu-lampu di perumahan berjarak sekitar seratus meter cukuplah menjadi pengindah. Bagai bintang yang menggantung di langit rendah. 

"Rahadi.... Rahadi.....!"
Dari kejauhan kudengar ada suara yang memanggil namaku. Suara yang seperti sering kudengar. Suara sangat akrab dengan ku. Semakin mendekat saja. Kutoleh kearah datangnya suara, ternyata Bintang. Pasti ia kemari mau melampiaskan dendam atau mungkin menagih kembali buku-buku cerita yang selama sebulan lebih ini kupinjam.
Sekarang hampir satu meter jaraknya dariku. Bintang setengah berdiri berlutut mengatur nafasnya tersengal. Mungkin karena berlari tadi. Ia mendekat. Kulihat wajahnya datar. Kuperhatikan matanya. Tak ada nyala api bergelora. Ia mengambil tempat untuk duduk tepat di sampingku. Dilihatnya jauh kedepan. Dalam. Sebagaimana aku melihat jauh kedepan. Hanya tarikan nafas dari hidungnya yang kudengar. Bercampur dengan suara-suara binatang khas malam di rerumputan. Agak damai hatiku melihat dia diam. Mungkin ia menata bahasa yang tepat di dalam hatinya apa yang akan dia ucapkan agar tak membuatku marah. Bintang menghela nafas. Ditariknya kopiah putih dari atas kepala dan memain-mainkannya di telunjuk tangan kanannya berputar-putar.
"Hadi, maaf".
Kata pembukaannya tak membuatku tertarik untuk bersuara. Tapi aku sedikit terheran-heran.
"Semua orang mencarimu", tambahnya.
Siapa yg mencariku. Bukankah aku tinggal di rumah sendirian?!
"Aku, pak Juna, buk Tian menanyakan kabarmu. Kau sudah empat hari tak hadir ke sekolah", kejar Bintang.
"Kau mau mengambil barang-barang yang kupinjam?"
"Sudahlah, Hadi", tambahnya.
"Jadi kau mau apa datang kesini?".
"Kau sendiri apa yang kau buat disini?", tanyanya lagi.
"Kau bukan kawanku lagi, Bintang. Tak perlu kau ikut campur aku mau melakukan apa disini. Kau pergi saja sebelum kupukul kau", ancamku.
"Belum habis marah kau padaku. Ayo, pukullah. Biar reda semua gundah hatimu. Biar hilang semua sedihmu. Aku ikhlas kau pukul, jika itu membuatmu menjadi merasa lebih baik". Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku takut menoleh ke wajahnya. 
Bintang kembali menjujurkan keinginan hatinya untuk berdamai denganku. Ia tak sampai hati membiarkanku bertarung sepi sendiri.
"Aku tau kau sedih, Hadi", ungkapnya. Ia juga tau semua masalah yang kuhadapi akhir-akhir ini. Semua karena kerinduanku pada ayah. Aku pun tak menyangka itu sangat berdampak pada hari-hari ku.
"Kau yang berubah, Hadi", kata Bintang. Ya, aku mengiyakan kata-katanya. Hatiku mulai melemah. Cair akan kebekuan. Aku mulai bisa tersenyum sekarang. Tapi kututupi kesedihanku padanya. 
"Jadi, kau menangis tadi?", selidiknya dengan sedikit meledek. Kukepalkan tinjuku ke bahu Bintang. Takkan kuakui.
"Jadi badanmu yang berbasah-basahan disini dan matamu merah itu tanda apa? Kelilipan debu? Terkena air keras? Begitu?"
Aku diam tak sanggup menyanggah tembakan Bintang. Dia sepertinya tak berubah setelah kejadian itu. Dia masih sama seperti sebelumnya. Sok tau dan sok ambil tau semua urusanku. 
"Kau tidak jawab pertanyaanku kenapa kau tak datang ke sekolah?"
"Aku diskors".
"Udah selesai, Hadi. Tiga hari setelahnya? Kau kenapa tak ke sekolah?"
"Aku sudah pindah sekolah!"
Aku menceritakan pada Bintang. Dia terkejut. Matanya terbelalak. Aku dapat merasakan dia tak bisa menerima keputusanku itu. Maksudku keputusan yang dibuat pamanku. Sebetulnya bukan niat mau mengambil jarak dari kalian semua. Keputusan itu dibuat paman karena ia berfikir aku sudah tidak mau kembali ke sekolah. Ceroboh memang. Tapi begitulah keadaannya. 
"Bagaimana dengan pak Juna, Hadi?"
Ia mengingatkanku kembali kepada pak Juna. Semua penduduk sekolah tau. Aku adalah siswa kebanggaan pak Juna. Semua penduduk sekolah tau begitu banyak prestasi yang telah kami raih beberapa bulan ini dengan bimbingannya. Salahku, beberapa Minggu belakangan tak bisa menjadi siswa yang bisa mengendalikan emosi. 
"Kemarin pak Juna datang ke rumahku, Bintang. Dia juga sama sepertimu. Memintaku mengurungkan niat untuk pindah sekolah".
Bahkan beliau meminta pihak sekolah mencabut surat pindahku tapi memang sudah terlanjur sampai ke meja kepala sekolah yang dituju. Pak Juna menarik nafas dalam. Ia sangat kecewa dengan semua yang terjadi secara mendadak.
Ia terdiam panjang. Kulihat ia membiarkan air teh yang kubuat menjadi dingin.
"Rahadi, baik-baiklah kau belajar disana, anakku", katanya sambil keluar dari rumahku. Aku menatap matanya. Pak Juna tak sanggup menatapku. Ia menundukkan pandangannya jatuh ke tanah.
"Pak, saya minta maaf. Tolong halalkan semua kesalahan saya, tolong halalkan semua yang bapak beri pada saya".
Akhirnya pak Juna mengangkat kepalanya dan menatapku. Ia memegang pundak ku sekalian mengangguk dan pergi meninggalkan rumahku. Hujan pun turun. Turun bersama perginya pak Juna dari rumahku. Ada rasa cemas kami tidak akan pernah bertemu lagi. 
***

Plakkk!!!
Duh, kepalaku dijitak sama Bintang. Kulihat dia tersenyum. Nakal. Seperti Bintang yang sebelumnya. Aku mendelik kan mataku. Ia semakin tertawa.
"Kau tak sedih aku pindah sekolah, Bintang?"
Kulihat dia tertawa-tawa sambil memegang perutnya. 
"Untuk apa aku sedih. Rumahku kan dekat dengan rumah kau. Kapanpun aku bisa datang".
Tak berubah sama sekali dia. Walaupun kemarin aku membuatnya babak belur. 
"Baik sekali kau, Bintang. Kau anggap aku apa?"
Dia bilang aku tetap lah sahabatnya. Sahabat sampai surga. Walaupun masa berlalu, zaman berganti, ia tetap akan jadi sahabatku.

***

DELAPAN


Jam tidur bergelayut diantara rentang malam terbentang. Akhirnya aku bisa kembali tersenyum ketika denyut nadi berhenti dalam jaga. Ternyata persahabatan itulah yang utama. Kata Bintang, persahabatan ini takkan pupus dan takkan terganggu oleh apapun termasuk musim berpacaran. Karena katanya ia takkan  berpacaran. Maklumlah, sudah hijrah katanya. 
Akhirnya aku kembali ke sekolah lamaku. Sekolah kesayanganku. Suasananya tak berubah. Kepala Sekolah mengizinku ikut ekskul nya pak Juna. Guru adalah orang tua kita di sekolah. Betapa pun guru menghukummu dengan hukuman yang berat, semata-mata itu untuk mendisiplinkan dirimu. Bukan untuk membencimu. Segeralah minta maaf dan berubah lah secara sepenuhnya dengan berikrar dalam hati kau akan lebih giat belajar dan disiplin dengan dirimu sendiri. Pagi mereka menghukummu, malam datang dan takkan berlalu tanpa doa dan menaruhkan harapan yang baik untukmu.
Sedangkan ayah....
Suara ayah didalam telpon tadi memberikan semangat baru untukku. Ia berjanji akan kembali ke tanah air. Ia akan senantiasa berada di sampingku menjadi ayah sekaligus ibu buatku.

~ SELESAI ~

Jumat, 18 Oktober 2019

KUMPULAN PUISI ANAK SEKOLAHAN TANJUNGBALAI

KARYA SISWA
Kumpulan Puisi Kehayatan Siswa-siswi Kebanggaan SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI

Assalamualaikum, gaess... Welcome back again di blognya SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI, semuanya ada disini.

Menulis itu seru. Lihat saja coretan-coretan sederhana teman-teman sekelas kalian di bawah ini. Tak perlu bersulit-sulit namun bisa menghasilkan karya-karya tulisan berupa puisi yang jujur dari hati. Ada tentang orang tua, guru bahkan masa depan. So, kalian sudah memikirkan masa depan belum? Tentu saja sudah, kan? Baiklah, check out puisi-puisi original dari teman-teman kalian berikut dan tinggalkan jejak-jejak membangun di kolom komentar dibawah ini atau di media sosial lainnya. Ok??

Kamis, 10 Oktober 2019

GERAKAN MENULIS BUKU INDONESIA (GMBI) SUMATERA UTARA DI SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI, Motivasi Dan Tips Oleh Bapak Muhammad Fajrin Pane, SHI, MHum, Dalam Membuat Karya Tulis

Motivasi Dan Teknik Membuat Karya  Tulis Oleh Bapak Muhammad Fajrin Pane, SHI, M.Hum di SMP NEGERI 8 TANJUNGBALAI 


Menulis merupakan rangkaian kegiatan yang memberdayakan rasa, karsa, dan selera yang terpapar dalam hati dan pikiran seorang manusia. Dengan menulis, tumpahlah segala penghayatan hidup kedalam lembaran-lembaran kertas melalui mata pena. Di zaman sekarang ini, menulis bukan hanya dilakukan di draf naskah kertas melainkan juga bisa disusun ke dalam ruang elektronik seperti email, sosial media maupun aplikasi menulis lainnya.

Menulis itu mudah, tentu untuk yang punya selera untuk menulis. Sebaliknya, ia sangat sulit untuk individu yang kurang berselera untuk menulis.

Inilah yang mendorong salah satu Sosialisator dari Gerakan Menulis Buku Indonesia (GMBI) merupakan putra asli dari daerah kita kota Tanjungbalai yakni bapak Muhammad Fajrin Pane, SHI, MHum memberikan workshop tentang teknik-teknik dan tips dalam menulis pada hari Kamis, 10 Oktober 2019 di halaman SMP Negeri 8 agar kegiatan menulis bisa dilakukan dengan mudah dan tepat sekaligus bisa memotivasi siswa untuk ikut lomba menulis secara online yang diselenggarakan oleh GMBI nantinya.


Adapun teknik-teknik penulisan yang telah dipaparkan di hadapan siswa dapat disarikan sebagai berikut:
1. Tentukan tema
Tema adalah gagasan pokok atau ide yang akan kita tuangkan ke dalam tulisan kita dan merupakan bagian yang sangat penting di dalam menulis. Tema bisa berisi kegundahan hati, kegalauan, bahkan kritikan terhadap kondisi sosial.
2. Pilih pengalaman, peristiwa atau harapan sesuai dengan tema.
Dengan menuliskan pengalaman dalam kehidupan pribadi atau orang lain, peristiwa yang terjadi di sekitar kita, maupun harapan-harapan kita, baik kepada orang tua, guru maupun pemerintah maka kegiatan menulis akan dapat disusun rapi dan mudah sesuai dengan suasana hati penulisnya.
3. Bayangkan suasana ketika kita merasakan peristiwa itu. 
Gali imajinasi dengan mengungkapkan perasaan bahagia, sedih, kesal, marah ke dalam tulisan agar luapan perasaan penulis tersampaikan kepada pembaca. Dengan emosi yang dipaparkan ke dalam tulisan maka pesan-pesan yang disampaikan dapat mudah difahami dan turut dirasakan oleh pembaca.
4. Tuliskan sesuatu yang paling diperhatikan dari peristiwa.
Misalnya kita pergi ke suatu daerah katakan saja Danau Toba, tentu yang jadi perhatian kita adalah keindahan alamnya, kesejukan udaranya, dan itu bisa menjadi bahan tulisan yang akan kita tuangkan.

5. Susun kalimat sederhana untuk mengungkapkan.
Penggunaan kalimat didalam sebuah tulisan sangat mempengaruhi sampainya sebuah pesan kepada pembaca. Jadi, penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami pembaca sangat mempengaruhi berhasilnya seseorang dalam tulisannya.
6. Ganti kalimat dengan memilih gaya bahasa, diksi dan rima.
Ketika kita sudah menyusun dan mengumpulkan tulisan kita, maka kalimat-kalimat yang sudah ditulis dapat kita ganti dengan bentuk kalimat dengan gaya bahasa seperti majas, pepatah, diksi dan rima tertentu yang mengandung makna sehingga menjadikan karya tulisan kita lebih bernilai sastra yang estetis dan tinggi.
7. Kembangkan puisi seindah mungkin dan baca dengan 'baper' lalu perbaiki.
Jika karya kita adalah puisi, coba kembangkan dan baca dengan teknik 'baper'.

8. Lakukan terus hingga kau merasa nyaman dengan puisimu.
Latihlah karya puisi tersebut hingga kita merasa nyaman dan percaya diri menyampaikan karya tulis tadi.

9. Tentukan judul
Judul adalah bagian terakhir yang kita tentukan sesudah semua rangka karangannya kita selesaikan.


Kegiatan Literasi ini merupakan gerakan nasional dengan demikian maka sekolah mempunyai peranan penting dalam memotivasi siswa-siswanya untuk turut berperan serta dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Semoga kunjungan workshop bapak Muhammad Fajrin Pane, SHI, MHum sebagai Sosialisator dari Gerakan Menulis Buku Indonesia (GMBI) menambah semangat siswa-siswi SMP Negeri 8 Tanjungbalai dalam menggali potensi khususnya di bidang menulis.

Terimakasih bapak Narasumber literasi sekolah kami pada kesempatan kali ini. (AZZamani).

BIOGRAFI NARASUMBER




SMP Negeri 8 Tanjungbalai Galakkan Bina Mental Untuk Meningkatkan Karakter Mulia Peserta Didik

Dekadensi moral di kalangan remaja saat ini merupakan salah satu masalah yang besar di negeri ini. Untuk mengantisipasi hal tersebu...