S E W A K T U H U J A N T U R U N
Cerpen Oleh Ahmad Zaki Zamani
SATU
Thik thuk... thik thukk...., tangan-tangan jam yang terpajang di dinding berdentang seakan-akan palu yang menghantam kepala dan menghantam otakku berulang-ulang. Tak ada beban yang kupikul. Hanya saja perasaan ku saat ini sungguh berat. Beratnya melebihi beban sebuah bukit yang bertengger diatas ragaku, menghimpit perasaanku. Mataku kabur, keliru kornea lensa membiaskan cahaya dan merefleksikan objek benda ke retina penglihatanku. Diam di ruang bimbingan konseling ini menjadikan perasaanku seperti mati rasa, seperti sempit dadaku untuk bernafas.
Berderap langkah Bu Tian masuk ke ruangan tempatku menunggu. Bisa kuhitung jumlah gerakannya dengan rumus baku penjumlahan bilangan asli. Berdegup. Jantungku berdegup tak beraturan, membayangkan hukuman apa yang akan diberikan Bu Tian guru bimbingan dan konseling di sekolah ini. Seharusnya aku tak datang hari ini ke sekolah. Aku menghela nafas.
Wajah Bu Tian muncul dari balik pintu.
Aku menyisir rambut dengan jemariku sekalian mengatur posisiku berdiri.
"Rahadi".
"Ya, bu". Jawabku. Kurapikan suaraku mendehem agak serak.
"Sudah berapa kali kau kesini dalam tujuh hari terakhir?"
"Tiga kali, Bu."
"O.. cukup banyak ya.."
"Ya, Bu. Maaf".
Menunduk. Aku tak berani melihat sorot mata dibalik kaca mata itu.
"Mudah betul kau minta maaf".
"Maaf, Bu, tak minta maaf lagi".
"Membantah!", hardiknya.
"Ya, Bu, maaf Bu, tidak membantah, Bu. Jadi saya harus bilang apa, Bu?"
"Kau menentang saya, Rahadi?"
"Maaf, Bu, tidak, Bu".
"Beratus kali sudah maafmu, Rahadi".
"Iya, Bu, maafkan saya".
"Apa penjelasanmu tentang kesalahanmu pada Bintang? Bukankah kalian selama ini berteman baik? Bahkan sejak hari pertama kalian menimba ilmu di sekolah ini".
Aku diam sejenak, terbayang wajah orang yang disebut Bu Tian itu.
B I N T A N G.
***
DUA
Kala itu bumi mendapat amanat dari Penguasa langit. Sehingga tumpah-ruahlah berjuta liter air menggenangi tanah-tanah datar. Basah. Hujan datang. Debu sirna. Jalanan lengang oleh para pengendara di lintasan depan gerbang sekolahku. Bintang berdiri dalam hujan. Kaku. Matanya nanar. Kulitnya membiru. Bukan karena hujan. Bukan karena Bintang berdiri didalam hujan, tegak terhimpit oleh suasana kekosongan. Tapi karena aku. Aku baru saja menumpahkan segala amarahku padanya. Sekarang dia bukan lagi temanku. Dia bukan lagi sahabatku. Aku memutuskan untuk diam, aku tak akan berbicara lagi padanya. Dia diam menahan perasaan benciku yang bisa ia baca meski didalam basah hujan. Kuseka air hujan yang mengalir dari pelipis mataku. Aku pergi, berbalik ke belakang untuk menjauhinya.
"Kau tak usah lagi jadi temanku. Kalau bisa selamanya!!", jeritku. Amarahku belum kunjung reda.
Tak ada jawaban. Ia senyap. Sudahlah. Sudah habis simpatiku kepadanya. Biar dia remuk direngkuh hujan. Berulangkali pun ia memberi penjelasan nanti, aku akan tutup telinga.
***
Kubanting pintu kamarku. Kujatuhkan tubuhku keatas tempat tidur beralas biru muda bermotif klub sepakbola liga Eropa.
Bayangan Bintang masih membuatku kesal. Membuatku ingin marah saja.
"Dengarkan penjelasanku dulu, Hadi, barulah kau marah padaku". Kutepis tangannya mencoba menenangkanku.
"Aku tau kau sedang emosi. Makanya kau tenang dulu. Dengar penjelasanku", sambungnya mencoba menenangkanku.
"Kau itu teman jenis apa?! Aku tak mau lagi mendengar apapun dari ucapanmu", aku menyanggah.
"Kau tau kan, Bintang, aku mencoba mendekatinya".
"Baik. Aku cuma ingin menjelaskan biar kau tak salah faham. Semua pesanmu sudah kulakukan. Aku tak menyangka kalau begini jadinya. Jangan kau salahkan aku, Rahadi". Bintang menghiba. Lelaki yang jadi teman sekelasku itu mencoba menenangkanku.
"Sudahlah. Selama ini kau kuanggap kawanku. Sekarang pergilah kau. Aku sudah muak melihat kecurangan mu".
"Surat itu sudah kutaruh diatas meja guru, Hadi. Aku tak tau kalau surat Riana jatuh kemana. Dan dia mendapat hukuman atas kesilapanku. Janganlah kau buat masalah sekecil ini jadi berat bagiku". Ia menjelaskan bahwa surat sakit Riana yang kutitipkan padanya sudah ia letakkan di meja guru untuk dimasukkan ke absensi siswa tapi hilang entah kemana.
Tanganku mencengkram. Darahku naik. Dadaku sesak mendengar penjelasannya.
"Terlalu mudah bagi kau. Kau mengaku sajalah. Kau tak suka aku dan Riana semakin dekat. Kau marah. Kau suka Riana. Kau mengaku. Itulah sebabnya kau curang. Pengkhianat. Rasanya aku ingin pecahkan kepalamu!" Kukepal tanganku. Kuayunkan ke perut Bintang sehingga kudengar ia tersedak dan jatuh terduduk di saluran air belakang kelas tempat kami bertengkar. Tiga detik, empat detik, nampaknya ia seperti tak sanggup untuk bangun berdiri. Ternyata tinjuku yang ketiga itu yang menumbangkannya. Ia bangkit dengan mencoba meraba dinding batu itu.
"Di, cobalah fahami aku", ssambungnya. Kalimat yang kuanggap terlalu mengada-ada itu membuatku merasa direndahkan. Kuayunkan sekali lagi pukulanku sehingga ia jatuh untuk kesekian kalinya. Hingga kudengar ada suara lain mendekat dari kejauhan memanggil namaku. Mencoba menghentikan perkelahian kami.
***
TIGA
Aku tertegun mengingat kejadian kemarin. Kupukul Bintang hingga ia terjungkal ke tanah. Tak ada sedikit pun rasa sesal, justru sakit hati yang kurasakan terbalaskan. Bintang itu temanku tapi tidak punya rasa setia kawan. Ia pantas menerimanya.
Kulihat Bu Tian menghela nafas mendengar rentetan ceritaku yang membuat Bintang babak belur. Beliau hanya menggeleng seolah aku yang jadi tersangka dan aku pula yang tidak punya rasa iba. Padahal sudah jelas Bintang yang salah.
"Coba kau lihat keluar sana".
Seketika aku menoleh keluar ruangan konseling ini. Belum ada seorang siswa pun diluar. Belum jam istirahat. Hanya rintik-rintik kecil yang mulai turun ke tanah-tanah datar kota ini. Dan seketika volume airnya semakin deras. Aku memegangi kedua siku tangan bertautan saat semilir angin menerjang lembut tubuhku.
"Ibu masih ingat ketika itu. Hujan. Kau dan Bintang berlarian didalam hujan dibawah selembar daun keladi lebar, kalian singgah ke rumah ibu meminta perlindungan, berteduh dari hujan. Meskipun kalian takut hujan membuat basah pakaian tapi ibu lihat kalian tertawa-tawa senang waktu itu. Ketika itu ibu salut dengan kalian berdua. Sungguh rapat, akur. Dan kau bilang, persahabatan kalian akan sampai selamanya. Hmmm.... Ternyata hanya slogan". Bu Tian memain-mainkan perasaanku. Rasanya di dadaku seperti diaduk-aduk.
"Aku tak tau si Bintang itu aslinya pengkhianat, Bu", balasku menimpali.
"Lantas, bagaimana dengan pak Juna?"
Aduh, pak Juna. Aku teringat pak Juna. Seharusnya tak perlu diingatkan. Benci. Bosan.
"Aku bukan jagoan, bu. Aku juga bukan pahlawan. Tapi aku akan melawan saat harga diriku direndahkan".
"Perkataanmu itu... Berani sekali".
Bu Tian marah.
"Maaf, buk". Kulihat Bu Tian tersinggung dengan kalimatku barusan. Padahal aku cuma mengikuti apa yang ditulis orang-orang di status mereka di sosial media".
Kulihat Bu Tian geleng kepala.
***
Aku tertegun mengingat kejadian kemarin. Kupukul Bintang hingga ia terjungkal ke tanah. Tak ada sedikit pun rasa sesal, justru sakit hati yang kurasakan terbalaskan. Bintang itu temanku tapi tidak punya rasa setia kawan. Ia pantas menerimanya.
Kulihat Bu Tian menghela nafas mendengar rentetan ceritaku yang membuat Bintang babak belur. Beliau hanya menggeleng seolah aku yang jadi tersangka dan aku pula yang tidak punya rasa iba. Padahal sudah jelas Bintang yang salah.
"Coba kau lihat keluar sana".
Seketika aku menoleh keluar ruangan konseling ini. Belum ada seorang siswa pun diluar. Belum jam istirahat. Hanya rintik-rintik kecil yang mulai turun ke tanah-tanah datar kota ini. Dan seketika volume airnya semakin deras. Aku memegangi kedua siku tangan bertautan saat semilir angin menerjang lembut tubuhku.
"Ibu masih ingat ketika itu. Hujan. Kau dan Bintang berlarian didalam hujan dibawah selembar daun keladi lebar, kalian singgah ke rumah ibu meminta perlindungan, berteduh dari hujan. Meskipun kalian takut hujan membuat basah pakaian tapi ibu lihat kalian tertawa-tawa senang waktu itu. Ketika itu ibu salut dengan kalian berdua. Sungguh rapat, akur. Dan kau bilang, persahabatan kalian akan sampai selamanya. Hmmm.... Ternyata hanya slogan". Bu Tian memain-mainkan perasaanku. Rasanya ada sesuatu di dadaku seperti diaduk-aduk.
"Aku tak tau si Bintang itu aslinya pengkhianat, Bu", balasku menimpali.
"Lantas, bagaimana dengan pak Juna?"
Aduh, pak Juna. Aku teringat pak Juna. Seharusnya tak perlu diingatkan. Benci. Bosan.
"Aku bukan jagoan, bu. Aku juga bukan pahlawan. Tapi aku akan melawan saat harga diriku direndahkan".
"Perkataanmu itu... Berani sekali".
Bu Tian marah.
"Maaf, buk". Kulihat Bu Tian tersinggung dengan kalimatku barusan. Padahal aku cuma mengikuti apa yang ditulis orang-orang di status mereka di sosial media".
Kulihat Bu Tian geleng kepala.
***
EMPAT
Aku gusar. Pak Juna bangkit dari tempat duduknya. Kucoba menatap sigap badan Pak Juna yang semakin dekat dari bangku tempat aku duduk. Matanya garang, menahan sabar yang sudah semakin habis. Merah penuh kemarahan. Plakkk...
Pipiku ditampar pak Juna. Aku menahan perih. Kutahan tanganku untuk tidak memegangi pipiku. Kutunjukkan mimik wajah tegar. Aku kuat. Aku tidak lemah. Kutahan mataku agar tidak mengeluarkan. Supaya tak kelihatan sakit. Kukeraskan hatiku. Aku tau aku tidak bersalah. Apalah arti perkataanku tadi padanya, dibandingkan dia menamparku didepan teman-temanku. Semua diam. Kelas hening.
"Kalau kau tak bisa menunjukkan sikap hormat, keluar saja kau dari kelas saya. Saya sudah habis sabar sama kau. Sudah hampir-hampir benci saya".
Mendadak kelas senyap karena ledakan emosi pak Juna. Semua siswa terdiam. Egoku bergejolak. Hatiku semakin berkecamuk. Aku tak tau cara menumpahkan emosiku, meledakkan marahku.
"Aku juga sudah lama benci pada bapak!!", belum sempat pak Juna menghabiskan kata-katanya, aku langsung menimpali.
Aku berlari kecil keluar dari kelas yang membuat dadaku panas itu. Hanya gara-gara mengatakan kurang keren cara bapak menjelaskan sehinggalah aku jadi objek kemarahan pak Juna. Memang betul sebelumnya aku tertawa-tawa, bermain-main ketika pak Juna menjelaskan rumus. Tapi apakah besar sekali salahku?! Aku heran, mengapa semua orang berubah akhir-akhir ini. Bintang, pak Juna, ........ aahh... sudahlah. Pusing kepalaku. Sebaiknya aku lompat pagar saja. Aku mau pulang. Menenangkan hatiku.
***
LIMA
"Bukan semua orang yang berubah, Rahadi. Tapi kau. Sebelumnya kau siswa yang baik".
Aku menatap Bu Tian yang melekatkan telapak tangannya ke dinding ruangan bimbingan dan konseling ini.
"Kau ingat ketika ibu bilang, 'buanglah sampah pada...', belum habis ibu berbicara kau malah merampas hak bicara ibu. Kau jawab pada temannya.... Buanglah sampah pada temannya...", sambil kau tertawa-tawa, kalian tertawa-tawa. Untunglah ibu pada saat itu sedang panen sabar. Jika tidak ibu juga akan menamparmu".
Aku tersenyum kecut mendengar kalimat Bu Tian.
"Ibu juga berubah, selalu marah padaku".
"Setiap kesalahanmu harus kau pertanggungjawabkan, Rahadi. Dan mulai besok kau dikenakan skor selama satu Minggu".
Aku terkejut mendengar keputusan bu Tian. Aku berontak. Ini tak adil bagiku.
***
ENAM
Alam berselimutkan terang jingga di barat tepat di junjungan menara mesjid. Kunikmati warna ufuk dengan rasa sepiku. Kumandang adzan Maghrib tak dapat membuatku bangkit dari bangku-bangku bambu yang tertancap di lapangan sepak bola kampung tempatku sekarang termenung. Walaupun tidak selebar lapangan sepak bola yang ditetapkan oleh Federasi sepakbola dunia dalam hukum permainan tapi cukuplah lapangan ini menjadi kebanggaan dan kesenangan warga sini. Rumputnya juga alami dan bukan rumput sintesis. Sesekali aku tengadah ke langit, sebentar-sebentar melihat rumput-rumput basah.
Aku jadi teringat hujan. Aku teringat rumah. Teringat kamarku. Teringat ayahku.
Kala itu hujan turun...
Itulah terakhir kalinya ayah memindahkan tubuhku dari karpet biru didepan tv kedalam kamar. Sedikit terengah membopong beban tubuhku yang berusia remaja. Setengah terbangun, kurasakan ia menutupkan selimut ke tubuhku keatas hingga leher. Dibelainya kepalaku. Diciumnya keningku. Kudengar suaranya lirih berdoa.
"Semua ini untuk masa depanmu, Hadi. Maafkan ayah", tutupnya. Semakin saja aku lelap dalam tidurku. Padahal hatiku terjaga, teringin untuk mempertanyakan secara tegas apa maksud kalimatnya. Tapi kurencanakan besok pagi saja aku akan menanyakan ucapan ayah yang tak kumengerti itu. Suaranya agak bergetar. Lirih. Tak seperti biasanya. Kukira aku sudah lemas karena serangan kantuk. Mungkin saja karena tadi aku menghabiskan seluruh energiku untuk mengerjakan semua tugas sekolah. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku selalu bersemangat datang ke sekolah, menghayati materi belajar dari guru. Nikmat. Semua guruku adalah kesukaanku. Khususnya pak Juna. Selama ini aku banyak bertanya dan berbagi cerita pada beliau. Bergaul dengan sahabat-sahabatku juga seru, rindang pepohonan sekolah juga indah, kantinnya, semua membuatku bersemangat. Lelap. Hingga pekat malam sempurna menguliti bumi pertiwi.
***
Pagi datang. Tubuhku terasa segar walaupun sesekali kantuk masih datang menyergap. Setiap pagi seketika bangun selalu yang pertama kali kucari adalah ayah. Satu-satunya orang yang ada di rumah ini bersamaku. Sesudah ibu meninggal, semakin aku bergantung pada ayah. Seharusnya lima langkah aku keluar dari kamar kulihat ayah bersimpuh diatas sajadah hijau bermotif mesjid sebagaimana biasanya. Tapi aku tak menemukannya hari ini. Atau mungkin saja lebih awal ayah pergi ke kandang ayam memberi makan pada ternaknya. Kususul kesana. Tapi tak kudapati. Aku duduk lemas di dipan rumah menunggu ayah yang entah kemana perginya. Kuperhatikan dari kejauhan belum juga pulang. Tubuhku jadi terasa lemas. Kemana ayah??? Tanda tanya besar di kepalaku.
***
Aku tersadar dari lamunanku ketika rintik jatuh ke kulit tanganku. Semua bayangan ayah sirna. Rintik mulai berpacu dengan warna hitam alam. Dadaku sesak rasanya. Mataku basah. Basah karena air mata dan air hujan yang berhimpitan bersamaan.
"Ayah... Pulanglah...", jeritku dalam hati.
Sudah tiga minggu berlalu sejak kepergian ayah menjadi TKI ke negeri seberang. Itupun dengan cara diam-diam. Ayah tau aku akan berontak hebat memaksa ayah membatalkan niatnya. Hanya dengan menitipkan pesan pada paman, ayah berangkat pergi layaknya embun yang menguap bersama datangnya pagi di sebelah timur. Tak dapat ku terima semua ini.
Seminggu sudah aku tak datang ke sekolah kebanggaanku. Sekolah yang selama ini menjadi semangat untukku. Bintang, pelajaran kegemaranku, guru kesayanganku bahkan pojok istimewa dibelakang pohon jambu tempatku sering memakan buku jikalau ada guru yang datang berhalangan. Tapi kini semangatku pupus seiring dengan perginya ayah.
Hujan makin deras saja senja itu. Bajuku semakin basah. Tapi aku masih betah berada disini. Betah menikmati buncah perih dadaku yang tak kunjung reda. Aku malu menangis didepan Tuhan. Setidaknya air hujan yang menjejak di wajahku ini menutupi keaibanku atas getirnya hati.
'Ayah... Pulanglah...."
***
TUJUH
Belum usai menjejak renungan, malam pun datang. Bajuku masih basah oleh air hujan. Aku belum berniat untuk kembali ke rumah. Pun tak ada siapapun di rumah. Yang ada hanya bayangan ayah yang semakin membuatku cemburu pada kehidupan anak-anak lain di kampung ini. Pernah kudesak paman untuk melakukan percakapan suara melalui telpon genggam tapi tak berhasil. Apakah jaringan tak ada atau ayah berada di luar jangkauan. Entahlah. Semakin kalut kurasa. Lapangan sepakbola ini semakin sepi saja. Gelap. Lampu-lampu di perumahan berjarak sekitar seratus meter cukuplah menjadi pengindah. Bagai bintang yang menggantung di langit rendah.
"Rahadi.... Rahadi.....!"
Dari kejauhan kudengar ada suara yang memanggil namaku. Suara yang seperti sering kudengar. Suara sangat akrab dengan ku. Semakin mendekat saja. Kutoleh kearah datangnya suara, ternyata Bintang. Pasti ia kemari mau melampiaskan dendam atau mungkin menagih kembali buku-buku cerita yang selama sebulan lebih ini kupinjam.
Sekarang hampir satu meter jaraknya dariku. Bintang setengah berdiri berlutut mengatur nafasnya tersengal. Mungkin karena berlari tadi. Ia mendekat. Kulihat wajahnya datar. Kuperhatikan matanya. Tak ada nyala api bergelora. Ia mengambil tempat untuk duduk tepat di sampingku. Dilihatnya jauh kedepan. Dalam. Sebagaimana aku melihat jauh kedepan. Hanya tarikan nafas dari hidungnya yang kudengar. Bercampur dengan suara-suara binatang khas malam di rerumputan. Agak damai hatiku melihat dia diam. Mungkin ia menata bahasa yang tepat di dalam hatinya apa yang akan dia ucapkan agar tak membuatku marah. Bintang menghela nafas. Ditariknya kopiah putih dari atas kepala dan memain-mainkannya di telunjuk tangan kanannya berputar-putar.
"Hadi, maaf".
Kata pembukaannya tak membuatku tertarik untuk bersuara. Tapi aku sedikit terheran-heran.
"Semua orang mencarimu", tambahnya.
Siapa yg mencariku. Bukankah aku tinggal di rumah sendirian?!
"Aku, pak Juna, buk Tian menanyakan kabarmu. Kau sudah empat hari tak hadir ke sekolah", kejar Bintang.
"Kau mau mengambil barang-barang yang kupinjam?"
"Sudahlah, Hadi", tambahnya.
"Jadi kau mau apa datang kesini?".
"Kau sendiri apa yang kau buat disini?", tanyanya lagi.
"Kau bukan kawanku lagi, Bintang. Tak perlu kau ikut campur aku mau melakukan apa disini. Kau pergi saja sebelum kupukul kau", ancamku.
"Belum habis marah kau padaku. Ayo, pukullah. Biar reda semua gundah hatimu. Biar hilang semua sedihmu. Aku ikhlas kau pukul, jika itu membuatmu menjadi merasa lebih baik". Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku takut menoleh ke wajahnya.
Bintang kembali menjujurkan keinginan hatinya untuk berdamai denganku. Ia tak sampai hati membiarkanku bertarung sepi sendiri.
"Aku tau kau sedih, Hadi", ungkapnya. Ia juga tau semua masalah yang kuhadapi akhir-akhir ini. Semua karena kerinduanku pada ayah. Aku pun tak menyangka itu sangat berdampak pada hari-hari ku.
"Kau yang berubah, Hadi", kata Bintang. Ya, aku mengiyakan kata-katanya. Hatiku mulai melemah. Cair akan kebekuan. Aku mulai bisa tersenyum sekarang. Tapi kututupi kesedihanku padanya.
"Jadi, kau menangis tadi?", selidiknya dengan sedikit meledek. Kukepalkan tinjuku ke bahu Bintang. Takkan kuakui.
"Jadi badanmu yang berbasah-basahan disini dan matamu merah itu tanda apa? Kelilipan debu? Terkena air keras? Begitu?"
Aku diam tak sanggup menyanggah tembakan Bintang. Dia sepertinya tak berubah setelah kejadian itu. Dia masih sama seperti sebelumnya. Sok tau dan sok ambil tau semua urusanku.
"Kau tidak jawab pertanyaanku kenapa kau tak datang ke sekolah?"
"Aku diskors".
"Udah selesai, Hadi. Tiga hari setelahnya? Kau kenapa tak ke sekolah?"
"Aku sudah pindah sekolah!"
Aku menceritakan pada Bintang. Dia terkejut. Matanya terbelalak. Aku dapat merasakan dia tak bisa menerima keputusanku itu. Maksudku keputusan yang dibuat pamanku. Sebetulnya bukan niat mau mengambil jarak dari kalian semua. Keputusan itu dibuat paman karena ia berfikir aku sudah tidak mau kembali ke sekolah. Ceroboh memang. Tapi begitulah keadaannya.
"Bagaimana dengan pak Juna, Hadi?"
Ia mengingatkanku kembali kepada pak Juna. Semua penduduk sekolah tau. Aku adalah siswa kebanggaan pak Juna. Semua penduduk sekolah tau begitu banyak prestasi yang telah kami raih beberapa bulan ini dengan bimbingannya. Salahku, beberapa Minggu belakangan tak bisa menjadi siswa yang bisa mengendalikan emosi.
"Kemarin pak Juna datang ke rumahku, Bintang. Dia juga sama sepertimu. Memintaku mengurungkan niat untuk pindah sekolah".
Bahkan beliau meminta pihak sekolah mencabut surat pindahku tapi memang sudah terlanjur sampai ke meja kepala sekolah yang dituju. Pak Juna menarik nafas dalam. Ia sangat kecewa dengan semua yang terjadi secara mendadak.
Ia terdiam panjang. Kulihat ia membiarkan air teh yang kubuat menjadi dingin.
"Rahadi, baik-baiklah kau belajar disana, anakku", katanya sambil keluar dari rumahku. Aku menatap matanya. Pak Juna tak sanggup menatapku. Ia menundukkan pandangannya jatuh ke tanah.
"Pak, saya minta maaf. Tolong halalkan semua kesalahan saya, tolong halalkan semua yang bapak beri pada saya".
Akhirnya pak Juna mengangkat kepalanya dan menatapku. Ia memegang pundak ku sekalian mengangguk dan pergi meninggalkan rumahku. Hujan pun turun. Turun bersama perginya pak Juna dari rumahku. Ada rasa cemas kami tidak akan pernah bertemu lagi.
***
Plakkk!!!
Duh, kepalaku dijitak sama Bintang. Kulihat dia tersenyum. Nakal. Seperti Bintang yang sebelumnya. Aku mendelik kan mataku. Ia semakin tertawa.
"Kau tak sedih aku pindah sekolah, Bintang?"
Kulihat dia tertawa-tawa sambil memegang perutnya.
"Untuk apa aku sedih. Rumahku kan dekat dengan rumah kau. Kapanpun aku bisa datang".
Tak berubah sama sekali dia. Walaupun kemarin aku membuatnya babak belur.
"Baik sekali kau, Bintang. Kau anggap aku apa?"
Dia bilang aku tetap lah sahabatnya. Sahabat sampai surga. Walaupun masa berlalu, zaman berganti, ia tetap akan jadi sahabatku.
***
DELAPAN
Jam tidur bergelayut diantara rentang malam terbentang. Akhirnya aku bisa kembali tersenyum ketika denyut nadi berhenti dalam jaga. Ternyata persahabatan itulah yang utama. Kata Bintang, persahabatan ini takkan pupus dan takkan terganggu oleh apapun termasuk musim berpacaran. Karena katanya ia takkan berpacaran. Maklumlah, sudah hijrah katanya.
Akhirnya aku kembali ke sekolah lamaku. Sekolah kesayanganku. Suasananya tak berubah. Kepala Sekolah mengizinku ikut ekskul nya pak Juna. Guru adalah orang tua kita di sekolah. Betapa pun guru menghukummu dengan hukuman yang berat, semata-mata itu untuk mendisiplinkan dirimu. Bukan untuk membencimu. Segeralah minta maaf dan berubah lah secara sepenuhnya dengan berikrar dalam hati kau akan lebih giat belajar dan disiplin dengan dirimu sendiri. Pagi mereka menghukummu, malam datang dan takkan berlalu tanpa doa dan menaruhkan harapan yang baik untukmu.
Sedangkan ayah....
Suara ayah didalam telpon tadi memberikan semangat baru untukku. Ia berjanji akan kembali ke tanah air. Ia akan senantiasa berada di sampingku menjadi ayah sekaligus ibu buatku.
~ SELESAI ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar